Sayuran merupakan sumber serat, vitamin, dan mineral yang baik bagi tubuh dan kesehatan manusia. Sayuran telah menjadi bagian penting dari diet sehat sehingga kebutuhan akan produk sayuran terus meningkat. Tidak hanya dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas terkait kesegaran dan juga keamanannya dari residu pestisida. Pemenuhan kebutuhan akan sayuran berkualitas ini menjadi masalah sekaligus potensi tersendiri, terlebih untuk masyarakat perkotaan dimana sumber daya lahan yang terbatas sekaligus kesibukan masyarakatnya yang tinggi.

Melihat masalah ini, tiga mahasiswa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor (IPB) berusaha menghadirkan solusi bagi pemenuhan kebutuhan sayur bagi masyarakat perkotaan. Melalui Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta (PKM-KC), tiga mahasiwa tersebut menawarkan solusi inovatif dengan merancang suatu sistem yang disebut SMIPY, yakni Smart Mini Plant Factory berbasis internet of things (IoT) sebagai pendukung pertanian perkotaan atau urban farming.

Tim SMIPY IPB terdiri dari Mu’minah Mustaqimah, Ahmad Safrizal, dan Bung Daka Putera. Tim yang didampingi oleh Dr. Slamet Widodo, S.TP., M.Sc. ini, merancang sebuah sistem budidaya sayuran dalam lingkungan terkendali. Dalam operasin犀利士 ya, berbagai parameter lingkungan mikro yang penting bagi tanaman seperti nutrisi, suhu, dan intensitas cahaya senantiasa dimonitor dan dikendalikan secara otomatis. SMIPY adalah sebuah alat yang diperuntukkan untuk masyarakat perkotaan yang kekurangan lahan untuk menanam dan sibuk sehingga kekurangan waktu untuk menjaga atau merawat tanamannya. Didukung dengan teknologi internet of things (IoT), alat ini dapat terhubung ke internet yang akan memudahkan pengguna untuk memonitor dan mengontrol tanaman dari mana saja.

“Perbedaan SMIPY dengan sistem hidroponik pada umumnya adalah pertama sistem ini mengadopsi konsep plant factory dimana parameter lingkungan mikro di dalamnya dikendalikan secara otomtais sehingga budidaya sayuran bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja tanpa tergantung lokasi dan musim; kedua sistem yang dikembangkan memungkinkan konsep rotasi tanam agar produksi bisa dilakukan secara kontinyu. Jadi pada setiap rak yang tersedia, pengaturan nutrisinya bisa diatur berbeda-beda sesuai jenis komoditas dan fase pertumbuhannya sehingga memungkinkan pengguna menanam komoditas yang berbeda atau komoditas pangan dengan sistem panen bergilir,” kata Mu’minah Mustaqimah.

Selama ini kebutuhan sayuran di daerah perkotaan  dikirim dari sentra produksi sayuran di daerah lain sehingga menimbulkan biaya tambahan untuk penanganan bahan, pengemasan, dan transportasi. Selama proses transportasi dan karena penanganan yang kurang baik mungkin akan timbul penurunan kualitas dan kerusakan produk yang berujung pada masalah sampah sebagaimana terlihat di berbagai pasar di perkotaan. Belum lagi bagi konsumen sendiri harus menghabiskan waktu dan biaya tambahan untuk memperoleh sayuran. Berbagai masalah tersebut diharapkan bisa diatasi dengan hadirnya SMIPY ini. Hal ini sejalan dengan paradigma ‘local production for local consumption’ dimana masyarakat perkotaan bisa mengkonsumsi produk sayuran yang dihasilkannya sendiri langsung dari dapurnya sendiri sehingga masalah yang timbul karena transportasi dan distribusi bisa dihilangkan.

Harapan ke depannya, alat ini juga dapat mengedukasi masyarakat khususnya generasi muda bahwa teknologi pertanian sudah cukup canggih untuk memfasilitasi orang-orang kota yang sibuk untuk bisa bertani. Selain itu juga diharapkan hadirnya SMIPY dapat merubah citra pertanian yang identik dengan cangkul dan lumpur di sawah ataupun anggapan bahwa bertani itu sulit dan tidak menjanjikan, harus dilakukan di lahan yang luas dan hanya dilakukan oleh petani di pedesaan. “Sejauh ini, masyarakat tidak banyak yang tahu bahwa dengan sentuhan teknologi pertanian bisa dilakukan dengan mudah dan simple. Kita berharap hadirnya SMIPY bisa mengubah itu” ujar Mu’minah.(*/slw)